Sabtu, 07 Agustus 2010

Duka dari Indramayu: Sang Maestro Telah Tiada

KOMPAS. 8-8-2010. Saya beruntung bisa menyaksikan pertunjukkan Mimi Rasinah yang pertama dan terakhir. Selama ini saya hanya mendengar namanya dan menyaksikan kerentaan beliau beberapa kali melalui tayangan televisi yang mengangkat kegiatannya sebagai seorang guru tari.

Saat menyaksikan pergelarannya di Bentara Budaya Jakarta pada Rabu (4/8), Rasinah duduk di kursi roda. Maka seperti telah tahu akhir "perjalanannya" Rasinah pun membacakan nujumnya melalui sebuah nomor "Rogoh Sukma" yang ia tarikan bersama sang cucu, Aerli.

Sementara suara nayaga di latar belakang menambah larat suasana. Simaklah ini,"Ampun ya Gusti...jika saya tak sanggup lagi, biarkan anak-cucu yang mewarisi...."

Lantas, hanya dengan satu tangan kanan yang masih terbebas dari serangan strooke, Mimi Rasinah--yang merupakan pewaris ke sembilan dalang Topeng Indramayu--mulai menggerakkan jari-jarinya, selaras dengan bunyi gamelan. Semua penonton langsung tertegun, tersihir oleh gerak Rasinah yang kharismatik. Sang cucu, Aerli, yang berdiri di belakang Rasinah melakukan gerakan yang sama dengan sang nenek.

Dialog batin antara nenek dan cucu pun berlangsung melalui gerak. Aerli yang berdiri di level pun seperti sedang menyatakan kesanggupannya untuk meneruskan semangat dari tradisi tari topeng dermayuan.

* * *

Kehadiran Mimi Rasinah di Bentara Budaya Jakarta malam itu, untuk meramaikan forum pameran kerajinan, foto, dan pergelaran ”Indramayu dari Dekat”, yang digelar 4-8 Agustus 2010.

Padahal, menurut Dinar, salah seorang pengurus Bentara Budaya, Rasinah harus menghabiskan waktu sembilan jam perjalanan dari Indramayu menuju Jakarta karena kemacetan lalu-lintas. Namun, di balik usianya yang telah 80 tahun dan serangan strooke sejak lima tahun lalu, semangat untuk melakukan "persembahan terakhir" kepada khlayak.

Di balik namanya yang mendunia, Mimi Rasinah tetaplah pribadi yang sederhana dan hidup dengan segala keterbatasan ekonomi. Ia bahkan hidup sangat melarat sejak terserang stroke. Kehidupan Rasinah saat itu sangat tergantung dari nafkah anak-anaknya yang bekerja sebagai penabuh gamelan dan kuli pemecah batu.

Kendati demikian, Rasinah tetap menari. Ia tetap mengajari cucunya, Aerli, menari topeng ketika setengah dari tubuhnya tak lagi bisa digerakkan. ”Mimi masih bisa mengetuk kenong ketika saya menari, bahkan melempar saya dengan pemukul kenong ketika salah menarikan gerakan tari topeng,” kata Aerli kepada Kompas.

Meski hidup serba sulit, semangat menari Mimi Rasinah tak pernah pudar. Baginya, tari topeng adalah takdir sekaligus pilihan hidup. Pilihan hidup itulah yang membuat sanggarnya kembali ramai dengan anak- anak muda, penari topeng baru.

Generasi baru ini memberikan angin segar bagi regenerasi tari topeng Rasinah. Aerli Rasinah (24), cucu Mimi Rasinah, menghidupkan kembali sanggar Mimi Rasinah dengan cara yang lebih inovatif, khususnya dalam hal manajemen panggung. Jika dulu Mimi Rasinah-lah yang mengurusi seluruh keperluan depan dan belakang panggung, kini pekerjaan itu diambil alih oleh penari, pemain musik, dan manajer panggung.

* * *

Sabtu malam (7/8), kabar duka datang dari Indramayu. Mimi Rasinah meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Indramayu. Wangi Indriya (48) yang malam itu mendapat giliran tampil di Bentara Budaya, segera mengumumkan berita duka kepada para penonton, sekaligus meminta kepada penonton untuk memaafkan kesalahan Rasinah serta mendoakannya.

Sebelum nomor pertunjukan terakhir digelar, Wangi bercerita tentang sang maestro. Menurut Wangi, semula dirinya tidak bersedia berguru kepada Rasinah. "Karena setahu saya, beliau itu hanya pelatih gamelan ibu-ibu dan menguasai tarian sunda. Baru setelah saya korek dan dorong, muncullah kepakaran beliau dalam menari topeng. Jadi beliau menari topeng kembali setelah 20 tahun absen," tutur Wangi sambil berlinangan air mata.

Kemudian, Wangi pun mempersilakan kepada penonton untuk menyampaikan kesan-kesannya tentang Rasinah. Seorang ibu yang mengaku kerap membawa tamu-tamu asing ke kediaman Rasinah pun bertutur, betapa dirinya sangat berduka atas kepergian Rasinah. "Saya minta kepada Mba Wangi untuk terus menjaga dan mengembangkan tari topeng. Semangat Mimi Rasinah harus terus dikobarkan."

Yang menarik dari sekian tamu yang menuturkan kenangannya atas Mimi Rasinah adalah seorang staf Pusat Kebudayaan Jepang. Menurutnya, pihak Pusat Kebudayaan Jepang adalah lembaga pertama yang membawa Rasinah dan beberapa seniman Indramayu lainnya, termasuk Wangi, pergi ke luar negeri.

Setelah sukses menggelar pertunjukan di Jepang, Rasinah pun mulai berkeliling dunia hingga ke Eropa dan Amerika. "Nah, baru setelah dunia mengakui kehebatan Ibu Rasinah, orang Indonesia baru meliriknya. Ini sangat disayangkan. Serharusnya masyarakat Indonesia lebih menghargai para maestro semacam Mimi Rasinah, dan saya yakin maestro-maestro lainnya masih banyak di beberapa wilayah Indonesia," ungkap staf Pusat Kebudayaan Jepang tersebut.

***
Kini Mimi Rasinah telah pergi dengan membawa segenap budi baiknya yang telah bersedia membagikan sebagian waktu hidupnya untuk kesenian topeng Dermayon. Kembali bangsa ini diingatkan, betapa orang-orang semacam Rasinah yang selama ini tidak merepotkan negara, dan malah telah mengharumkan nama bangsa dan negeri ini, justru kerap dilupakan kesejahteraan hidupnya.

Dan kepergian Mimi Rasinah pada Sabtu Siang, niscaya meninggalkan kenangan yang luar biasa indah kepada mereka yang hadir menyaksikan pertunjukan terakhirnya di Bentara Budaya Jakarta. Termasuk saya, yang tanpa terasa ikut menitikkan air mata begitu mendengar kabar duka yang datang dari Indramayu. oleh Jodhi Yudono

0 comments:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates